Kamis, 29 November 2018

Masuknya Islam di Jazirah Hatuhaha

I. UMUM
Berdasarkan seminar “Masuknya Islam ke Indonesia” yang dilaksanakan pada 17 – 20 Maret 1963 di Medan, menyimpulkan bahwa Islam masuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau sekitar dekade ke-tujuh dari abad ke-tujuh Masehi langsung dari Arab, dan bahwa kota Aceh, yang terletak di Barat Daya Sumatera, merupakan daerah pertama di Indonesia yang didatangi penyiar-penyiar agama Islam.
Penyiar-penyiar Islam yang datang di Indonesia saat itu diduga para saudagar atau mubaligh Arab dari Hadramaut, karena Arab Hadramaut itu sudah sampai ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah (Ke-tujuh Masehi), di antara saudagar dan mubaligh tersebut terdapat golongan Alawiyyin keturunan Sayyidina Hasan dan Husein bin Ali bin Abu Thalib, baik yang berasal dari Mekkah-Medinah maupun yang kemudian menetap di Hadramaut. Mereka berlayar ke Timur dengan maksud berdagang sambil berdakwah serta menyelamatkan diri dari pemerintahan Bani Umayah, yang terus menerus melakukan pengejaran dan pembunuhan atas keluarga Ahlul Bait (kaum Alawiyyin).
Selanjutnya, kerajaan Islam yang pertama di Indonesia, bahkan juga Asia Tenggara adalah sebuah kerajaan yang didirikan di Perlak pada 1 Muharram 226 Hijriyah atau 840 Masehi di bawah pemerintahan Sayyid Maulana Abdul Azis Syah, yang memegang tampuk pemerintahan dari 226-250 Hijriyah atau 840-864 Masehi. Ayahnya bernama Sayyid Ali bin Muhammad bin Jafar ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib.
Setelah itu bermunculan kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti kerajaan Samudera Pasai di Aceh pada tahun 434 H atau 1042 M dan kerajaan Islam yang juga di Aceh pada tahun 602 H atau 1205 M. Dari Aceh barulah agama Islam tersebar ke mana-mana, juga ke pantai-pantai di pulau Jawa dan di Indonesia Timur seperti Maluku. Perlu diketahui bahwa penyiaran agama Islam ke seluruh wilayah Indonesia secara resmi setelah berdirinya kerajaan Islam Samudera Pasai pada abad ke-13 Masehi.
II. MASUKNYA PENYIAR ISLAM DI JAZIRAH HATUHAHA
Salah seorang tokoh Islam yang mempunyai andil dan peran penting dalam penyiaran agama Islam di Maluku Tengah, khususnya di Jazirah Uli Hatuhaha adalah Datuk Zainal Abidin, yang kisah perjalanannya dalam penyiaran agama Islam sampai masuk ke Jazirah Uli Hatuhaha, mengundang berbagai pendapat antara lain:
Pendapat Pertama
Penyiar Islam di Jazirah Uli Hatuhaha adalah Datuk Maulana Zainal Abidin bin Husein bin Ali, cucu dari Imam Ali bin Abu Thalib yang berangkat dari Arab menuju tanah Cina, melintasi semenanjung Malaka dan pada permulaan abad ke-8 memasuki Indonesia melalui Aceh, di sini Datuk Zainal Abidin menyiarkan agama Islam tapi masih dalam bentuk menanamkan benih agama yang masih terbatas pada kelompok perorangan. Perjalanannya kemudian dilanjutkan ke Makassar (Gowa) dan menikah dengan seorang puteri Gowa dan memperoleh seorang putera yang diberi nama Saidi Alim. Selanjutnya Datuk Zainal Abidin berangkat ke Indonesia Timur dan singgah di Buton. Di sini Datuk Zainal Abidin menanamkan benih agama Islam melalui pendidikan formal dengan harapan agama Islam dapat diwariskan dan disebarkan di daerah tersebut, maka diangkatlah beberapa murid sebagai penggantinya yaitu Sultan Nalar Syafi’i dan Sultan Kaimuddin. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke daerah Maluku yaitu Jazirah Uli Hatuhaha, Saat itu pulau Haruku belum dihuni, Datuk Zainal Abidin kemudian kembali dengan meninggalkan bekas telapak kaki sebagai bukti bahwa Beliaulah orang pertama yang datang lebih dulu.
Kemudian Datuk Zainal Abidin datang untuk kedua kali ke Jazirah Uli Hatuhaha dengan suatu harapan tempat ini telah berpenghuni. Kedatangannya yang kedua ini sempat bertemu dengan “PURIASA” (salah seorang penduduk Uli Hatuhaha) dan raja Jin yang bernama “ABDULLAH” yang lazim dikenal dengan YARIMAU ALAKA. Pada saat itu Datuk Zainal Abidin sempat menyaksikan perdebatan antara Puriasa dengan Raja Jin, tentang siapa yang datang lebih dahulu ke Jazirah Uli Hatuhaha sebagai pertanda untuk menanamkan kekuasaan pada wilayah tersebut. Dengan nada spontan Datuk Zainal Abidin mengatakan bahwa beliaulah yang datang lebih dahulu dengan menunjukkan bukti bekas telapak kaki yang tertempel pada sebuah batu. Namun bukti tersebut belum menjadi alasan yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dengan alasan yang cukup realistis bahwa sejak kedatangan Datuk Zainal Abidin yang kedua ini Puriasa maupun raja Jin tidak pernah melihatnya. Dengan demikian mereka bertiga mengambil suatu kebijaksanaan melalui permainan “ENGGO” (permainan yang saling mencari tempat persembunyian), dengan syarat apabila di antara ketiganya salah satu tidak diketahui tempat persembunyiannya berarti dialah yang lebih dahulu menginjakkan kaki di Jazirah Uli Hatuhaha. Dari hasil permainan itu diputuskan secara mutlak bahwa Datuk Zainal Abidin-lah sebagai orang pertama yang memasuki Jazirah Uli Hatuhaha.
Untuk kedatangan ketiga kalinya di Jazirah Uli Hatuhaha, Datuk Zainal Abidin disambut oleh Kapitan Ismail Akipai di kawasan pantai sebelah Barat Uli Hatuhaha tepatnya di kawasan Wae Talat (Wae Poka Uru).
Pendapat Kedua
Datuk Zainal Abidin merupakan jelmaan dari Neira, salah satu datuk di antara empat datuk yang muncul secara gaib di kawasan Nusa Wakan. Keempat datuk tersebut adalah Salamon, Londor, Lawataka dan Neira serta saudara perempuan mereka yang bernama Boiratan.
Dalam pembagian tugas penyiaran agama Islam, Neira ditugaskan menyiarkan agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha yang menurunkan keturunan bermarga Marasabessy, Salamon menuju desa Tulehu yang menurunkan keturunan bermarga Ohorella, Lawataka menuju pulau Seramyang menurunkan keturunan bermarga Wakano, dan Londor menuju Bandayang menurunkan keturunan bermarga Nurbatty.
Dengan demikian, anggapan Datuk Zainal Abidin yang masuk melalui Banda ke Uli Hatuhaha adalah jelmaan dari “NEIRA” dan beliaulah adik dari keempat saudara Salamon, Londor, Lawataka, dan Boiratan.
Pendapat Ketiga
Penyiar agama Islam di jazirah Uli hatuhaha adalah Datuk Syarif Muhammad bin Zainal Abidin yang mempunyai keturunan dengan Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali RA, cucu dari Sayidina Ali bin Abu Thalib RA. Hal ini diperkuat oleh berbagai referensi, antara lain:
1) Prof. Dr. H. Abubakar Aceh, dalam bukunya “Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia”, halaman 9 dan 10 yang menjelaskan bahwa, Syarif Aulia (Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin) termasuk orang yang pertama menyiarkan agama Islam di Indonesia Timur, Beliau datang ke Jawa pada zaman Ampel tahun 801 Hijriyah (1398 Masehi) bersama anak dan saudara-saudaranya, begitu juga pamannya yang bernama Maulana Malik Ibrahim.
2) Al-Imam al-Allamah Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad, dalam bukunya risalah “al-Mu’awanah wa al-Muzhaharah wa al-Muwazarah li al-Raghibin bin Suluk al-Thariq al-Akhirah”, pada halaman 17 yang menjelaskan bahwa Sayyid Muhammad bin Ali Zainal Abidin al-Faqih al-Muqaddam merupakan datuk-datuk kaum Alawiyyin yang datang ke Indonesia untuk menyiarkan agama Islam. Beliau termasuk seorang tokoh Sufi paling terkenal di hadramaut, yang telah mencapai tingkat Mujtahit Mutlak dalam ilmu Syariat dan tingkat Qutb dalam ilmu Hakikat. Perlu diketahui Sayyid Muhammad bin Ali Zainal Abidin al-Faqih al-Muqaddam tidak termasuk tokoh Wali Songo.
3) Dr. Adil Muhyid Din Al Allusi, dalam bukunya “Al’urubatu Wal Islamu Fi Janubi Syarqi Asia Alhindu Wa Indonesia”, pada halaman 33 dan 34 menjelaskan bahwa orang pertama yang menyiarkan agama Islam di Indonesia Bagian Timur adalah Syarif Aulia (Maulana Zainal Abidin).
Pendapat Keempat
Berusaha mempertemukan ketiga pendapat di atas, yaitu penyiar agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha adalah Datuk Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin, yang mempunyai hubungan keturunan dengan Ali Zainal Abidin bin Husein bin Imam Ali RA, yang berangkat dari Hadramaut melalui tanah Cina, melintasi semenanjung Malaka kemudian pada akhir abad ke-13 memasuki Indonesia selanjutnya ke Makassar (Gowa) dan menikah dengan seorang puteri Gowa yang dikaruniai seorang putera dan diberi nama Saidi Alim. Selanjutnya beliau melanjutkan perjalanan ke Maluku yaitu Jazirah Uli Hatuhaha.
Kedatangannya yang kedua di Jazirah Uli Hatuhaha, dengan harapan dapat menyebarkan agama Islam. Kemudian Datuk Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin menikah dengan seorang puteri Puriasa yang bernama “Nunu Sumba”. Dari hasil perkawinannya ini Datuk Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin dikaruniai 4 orang putera dan 1 orang puteri yaitu Salamon, Londor, Lawataka, Neira dan Boiratan.
Datuk Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin meninggalkan mereka berlima yang masih kecil untuk melanjutkan penyiaran agama Islam di daerah lain dan seterusnya kembali ke tanah Arab. Karena rasa rindu ke-5 anak tersebut kepada orang tua mereka di samping ingin mendalami ilmu pengetahuan agama Islam, dengan tekad yang bulat serta dibekali sebuah Takraw Emas dan Nisyal Emas, titipan orang tuanya Datuk Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin, maka dilakukanlah perjalanan dari Nusa Wakan dan singgah di Nusa Banda untuk menitipkan saudara perempuan mereka “nene Boiratan”.
Setelah itu mereka berangkat ke tanah Arab dan singgah di Mesir seperti diungkapkan dalam “Kutumele Upu Haasyi”. Setelah kembalinya mereka dari Mesir, mereka singgah di Banda untuk menemui saudara perempuan mereka. Kemudian Neira ditugaskan kembali ke Jazirah Uli hatuhaha dan menikah dengan seorang puteri Wai yang bernama “Pikalina” dan dikaruniai 4 orang anak yaitu Putiiman, Tuturesy, Salarita dan Tita Hery, yang menurunkan marga Marasabessy, Salamon ke Tulehu yang menurunkan marga Ohorella, Lawataka ke pulau Seram yang menurunkan marga Wakano, Londor tetap di Banda yang menurunkan marga Nurbatty.
Pendapat ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
1) Alasan yang telah diuraikan pada ketiga pendapat tersebut di atas.
2) Berdasarkan silsilah kaum Alawiyyin (ahlul bait) yang dikeluarkan oleh Lembaga Al Maktab ad-Daimiy li Ihsha wadhabti Ansab al-Alawiyyin, yang menetapkan garis keturunan dari Ali Zainal Abidin bin Husein bin Imam Ali RA, yang wafat pada tahun 95 Hijriyah (714 Miladiyah) sampai dengan Abdullah bin Alwie bin Muhammad yang wafat pada tahun 731 Hijriyah (1328 Miladiyah), yang garis silsilahnya sebesar 17 tingkatan yang memerlukan waktu sebanyak 614 tahun. Sedangkan garis keturunan dari Datuk Zainal Abidin sampai dengan penulis adalah 17 tingkatan berarti memerlukan waktu 614 tahun pula. Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk di Jazirah Uli Hatuhaha sekitar tahun 1380 (1995 – 614), di mana pada tahun tersebut Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin merupakan orang pertama yang menyiarkan agama Islam di Indonesia Timur.
3) Berdasarkan informasi dari leluhur penulis bahwa saat terjadi perang Hoamoal pada tahun 1637, pasukan kerajaan Islam Hatuhaha mengirim bantuan ke Hoamoal yang dipimpin oleh Upu Maramena untuk melawan VOC. Bila dilihat dari silsilah marga Marasabessy, maka Upu Maramena berada di tingkat ke-6 (Datuk Zainal Abidin – Nira Boyake – Tita Hery – Lebe Mansur – Patty Poho I – Maramena), Sehingga dapat dipastikan bahwa Datuk Zainal Abidin hidup sekitar tahun 1380 (abad ke-14). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa agama Islam masuk di Jazirah Uli hatuhaha sekitar tahun 1380 Masehi.
Kebenaran perjalanan penyiaran agama Islam oleh Datuk Zainal Abidin ke Jazirah Uli Hatuhaha didasarkan pada beberapa informasi, untuk itulah diperlukan suatu pengkajian agar diperoleh kebenaran tentang sejarah perjalanan penyiar agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha.
III. PERJALANAN ZAINAL ABIDIN KE AMAHATU
Seperti yang dikisahkan pada uraian-uraian di atas bahwa kedatangan Datuk Zainal Abidin di Jazirah Uli Hatuhaha, tepatnya di kawasan Wae Talat(Wae Poka Uru) beliau disambut oleh Kapitan Ismail Akipai, karena Kapitan Ismail Akipai ditugaskan untuk merintis wilayah yang akan dimasuki oleh Datuk Zainal Abidin dalam tugas penyiaran agama Islam. Kapitan Ismail Akipai berdasarkan informasi juga berasal dari tanah arab. Sebagai Kapitan yang mempunyai kharisma yang tinggi dalam mengamankan wilayah Uli Hatuhaha terhadap gangguan dari luar, bersama Datuk Zainal Abidin mereka menuju ke pemukiman masyarakat Hatuhaha yang masih bermukim di “Amahatu”. Dalam perjalanan itu mereka sempat beristirahat di suatu tempat yang bernama “Kudamara” kemudian melanjutkan perjalanan ke “Matasiri” dan beristirahat di suatu tempat yang dianggap aman yakni “Asari Lanite”. Asari Lanite berasal dari kata Asari yang berarti rumah dan Lanite yang berarti langit/tingkat dan dapat diartikan sebagai sebuah rumah yang berbentuk tingkat tetapi lantai bawahnya kosong dan terbuka tanpa dinding. Di tempat itu pula Datuk Zainal Abidin menetap sambil mengajarkan agama Islam kepada para pengikutnya di Jazirah Uli Hatuhaha. Sewaktu tinggal di Asari Lanite Datuk Zainal Abidin selalu dikawal oleh Kapitan Ismail Akipai.
Selama berada di Asari Lanite, ada seorang pemuda yang bernama “Seihati” seringkali mendatangi tempat tersebut untuk meminta sisa-sisa makanan dari Datuk Zainal Abidin dan Kapitan Ismail Akipai. Ayah Seihati bernama “Atapari” yang berasal dari desa Passo. Seihati dan ayahnya tinggal di Totu dan pekerjaan mereka adalah nelayan (pembuat bubu). Karena berkeinginan untuk mencicipi kelezatan makanan bersama Datuk Zainal Abidin dan Kapitan Ismail Akipai, Seihati mencoba menawarkan diri untuk tinggal bersama mereka, namun secara halus Datuk Zainal Abidin menawarkan jaminan agar Seihati terlebih dahulu memeluk agama Islam baru dapat diizinkan tinggal bersama atau makan bersama. Atas permintaan ini, Seihati membujuk kedua orang tuanya (saat itu keluarganya masih menganut Animisme), dengan kerelaan dari kedua orang tuanya kemudian Seihati diIslamkan oleh Datuk Zainal Abidin seperti diungkapkan dalam kapatah (lani) di bawah ini:
Ikakuru wae tanusa laloi ia o
Apa pukane in dosa herinyea
Isyika Seihatia herinye
Ihehe nalai Muhudumu
Di sinilah awal masuknya Seihati sebagai pemeluk agama Islam yang kemudian mengganti namanya menjadi Haddam (dalam bahasa Arab Haddam artinya pelayan), kemudian namanya diganti lagi menjadi Muhudumu. Beliaulah orang pertama yang memeluk agama Islam dan mempunyai banyak keturunan di Mandalisa (Rohomoni). Selanjutnya Datuk Zainal Abidin, Kapitan Ismail Akipai dan Muhudumu menuju ke Amahatuauntuk bergabung dengan masyarakat Amarima Lounusa di Amahatua, seperti diungkapkan pada kapatah berikut ini:
Latu Akipai pa’aneha Latua Puriasa
Puriasa paatita Lounusa
Ipeki Akipai in salamu maute
Akipai ien salamu maute ia ole kura taha
Perlu diketahui bahwa, sebelum kedatangan Datuk Zainal Abidin di Jazirah Uli Hatuhaha, sudah ada masyarakat di situ, antara lain : Tuan tanah Amahatui yang bernama “Puriasa” yang berasal dari keturunan Kapitan Kawauw, Tuan tanah Nunu Saku pulau Seram (Nusa Ina), Kapitan Tuarihia yang menurunkan marga Latupono, kemudian tibalah kapitan-kapitan yang memiliki kesaktian luar biasa, seperti Kapitan Rihiya Hutubesy, Kapitan Yasi Matawoku, Kapitan Tua Hanai Marabali, Kapitan Waela Rumbesi, tiba lagi Kapitan Seipati Rimaba Karabesi dari gunung Ahiyo/Solo Huwa Nusa Ina, Kapitan Poisina-Sinai Mahu, Upu Karirae yang memperoleh seorang anak yang bergelar Kapitan Matakau Rumbesi serta saudara-saudaranya antara lain : Atia Niyai, Hirisyopa, Matasei (Samasuru), Kapitan Monia Tehusela dan Kapitan Paer (Mandelisa). Kapitan Pauwa Matawaru, Kapitan Samatuate dan Kapitan Tumbalakasiwa berasal dari Waesaleka (Mata Passo), kemudian muncul lagi tokoh Islam yang bernama Datuk Umar dari Mahu Bandar berasal dari keturunan Syech Maulana Magtur dari Teluk Persia yang melahirkan 5 orang anak yaitu : Pahuwae, Henakaiy (Henabesy), Lekaninia, Tua Masanea dan Saleman Patti, tiba lagi Kapitan Lesy Tomalena dan Kapitan Patti Kasim (Mandelisa). Kemudian tiba lagi seorang penganjur agama Islam yang bernama Maulana Malik Ibrahim (Pandita Mahu) dari keturunan Zainal Alam Barakat (Hadramaut), yang muncul di Tihumele adalah Kapitan Tuai Leisina Tuanoya, Kapitan Lesiputi, Kapitan Timinoya dari kelompok Haturesi Rekanyawa. Perlu diketahui pula kedatangan dari Tidore-Jailolo-Ternate, seperti Sumba Gulano di Matasiri, Sarpaleka Wasahua di Samasuru dan Upu Mambaleg di Mandalisa, sehingga daerah Hatuhaha banyak penghuninya, dimana keturunannya masih ada sampai sekarang. Pendatang di Jazirah Uli Hatuhaha banyak berasal dari Nunu Saku (pulau Seram), sedangkan tokoh-tokoh yang memegang pucuk pimpinan di Jazirah Uli Hatuhaha kebanyakan berasal dari Tanah Arab (Hadramaut).
Selain penghuni Jazirah Hatuhaha di atas, terdapat juga satu kelompok tertentu yang mendiami daerah sekitar pulau Haruku misalnya kelompok yang mendiami daerah gunung Sialana (Urisiwa), kelompok yang mendiami belakang gunung Huruwano (Masyarat Kariu), kelompok yang mendiami daerah Asupu, Hita, e, terdapat juga kelompok di Wae Risa-Lana gunung Ahe, serta kelompok yang mendiami gunung Noni bahkan di pesisir pantai.Sebelum kedatangan penganjur agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha, maka kepercayaan masyarakat pada saat itu masih menyembah berhala seperti batu-batu dan lain sebagainya. Bahkan anggapan mereka bahwa Tuhan itu ada di langit, yang dikenal dengan istilah “Laha Tala Lanite”.
Dengan kadatangan Datuk Zainal Abidin (Pandita Pasai) di Jazirah Uli Hatuhaha, yang merupakan tokoh pertama penganjur agama Islam, maka agama Islam mulai mendapat tempat di masyarakat Jazirah Uli Hatuhaha. Sehingga pada tahun 1410-1412 bertepatan dengan terbentuknya Kerajaan Islam Hatuhaha, dengan suatu ketegasan dari Datuk Zainal Abidin maka seluruh masyarakat Amarima Lounusa memeluk agama Islam.
Selain sebagai penganjur agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha, Datuk Zainal Abidin juga menyiarkan agama Islam di Jazirah Hatawano Iha, yang diproklamirkan menjadi Kerajaan Islam Iha Ulu Palu pada tahun 1412, dimana beliau menapakkan kaki di sebuah pulau kecil sehingga pulau tersebut dinamakan Pulau Maulana dekat pulau Saparua. Beliau juga menyiarkan agama Islam di Seram Selatan, Seram Timur, Jazirah Huamual (Luhu) dan Jazirah Leitimur (Hitu) sebelum tiba utusan dari Sunan Giri (Raja Pelatine dan Pulatu).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Datuk Zainal Abidin mempunyai peranan yang cukup besar sebagai penganjur agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha serta pembentukan Kerajaan Islam Hatuhaha. Penyebaran agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha tidak menimbulkan kegoncangan di kalangan Amarima Lounusa karena Islam yang baru datang tersebut tidak melarang masyarakat Amarima Lounusa menjalankan adat istiadat dan tradisi maupun kebudayaan khusus, sehingga mereka yakin benar Islam tidak memisahkan masa kini dengan masa lalu. Malah Islam ingin menjalin kebahagiaan dunia dan akhirat. Islam senantiasa menghindari terjadi kegoncangan di kalangan masyarakat Amarima Lounusa, selalu berusaha mempertemukan perbedaan-perbedaan yang ada, paling tidak berusaha menyesuaikan sebagian adat istiadat dan tradisi setempat dengan praktek-praktek yang didekatkan dengan dasar-dasar Islam. Sudah tentu praktek penyesuaian itu tidak boleh mengorbankan pilar-pilar Islam, terutama fardhu (rukun Islam) yang lima. Jadi di satu sisi Islam memperkeras pengukuhan tauhid kepada Allah SWT dan kenabian Muhammad SAW, mengumandangkan dua kalimat syahadat dan memerintahkan penunaian ibadah yang suci yakni shalat. Namun di dalamnya masih ditemukan kelunakan-kelunakan dalam berbagai segi yang dianggap tidak menyimpang dengan pokok-pokok ajaran Islam.

Disusun Oleh:
Ir. Rasyid Marasabessy
Ir. Rohani Ohorella
Referensi:
1. Prof. Dr. H. Abubakar Aceh. Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia. Indonesia. 1871.
2. Dr. Adil Muhyid Din al-Allusi. Al’urubatu Wal Islam Fi Junubi Syarqi Asia Alhindu wa Indonesia. Bagdad. 1988.
3. Al-Imam Al-Allamah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Al-Mu’awanah wa Al-Muzhaharah wa Al-Muwazarah li Al-Raghibin min Al-Mu’minin fi Suluk Al-Thariq Al-Akhirah. Mesir. 1929.
4. Muhammad Al-Baqir. Ulama Sufi dan Pimpinan Umat : Ali Zainal Abidin, Cucu Rasulullah. Bandung. 1983.
5. A. Latif Tuanany. Tinjauan Selayang Pandang Tentang Jazirah Uli Hatuhaha. Kailolo. 1989.
6. Tete Hi. Ali Marasabessy. Tokoh Ulama Kailolo/Maluku. 1983.
7. Abubakar Ohorella. Pemuka Masyarakat Kailolo.1989.
8. Hi. Kojabale Marasabessy. Pemuka Masyarakat Kailolo. 1989.

Kerajaan Islam Hatuhaha

A. UMUM
Sebelum terbentuknya Kerajaan Islam Hatuhaha di Jazirah Uli Hatuhaha seringkali terjadi kerusuhan-kerusuhan, seperti pada tahun 1382 terjadi peperangan Urisiwa di gunung Sialana anatar kelompok-kelompok yang tidak mau tunduk pada prinsip-prinsip Hatuhaha, antara Kapitan yang satu dengan Kapitan yang lain. Tetapi dengan kehadiran Kapitan Ismail Akipai di Jazirah ini, maka dapatlah diatasi segala kerusuhan serta membawa perubahan-perubahan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan di antara Kapitan-kapitan maupun tokoh-tokoh masyarakat di Jazirah Uli Hatuhaha. Sehingga daerah ini dapat disatukan dalam satu wadah yakni Uli Hatuhaha. Kapitan Ismail Akipai dapat menciptakan suatu kondisi yang baik dengan jalan mengangkat Ronerusun Marapaika (Matasiri) selaku kepala adat Hatuhaha Amarima Lounusa dengan istilah Latu Nusa Barakate, yang memepunyai kedudukan tertinggi di Jazirah Uli hatuhaha, dimana kedudukan ini masih tetap dipertahankan sampai saat ini dengan istilah Ketua Latu Pati. Sedangkan pada masing-masing negeri diangkat seorang raja, antara lain:
1. Kapitan Seipati Kabaresi sebagai Latu (Raja) untuk kelompok Sahapori (Kailolo) dengan gelar Latu Surinai.
2. Kelompok Samasuru (Kabauw) Latu Karia Sina (Latu Pisina Sinamahu) kemudian diserahkan kepada Latu Supaholo seterusnya kepada marga Pattimahu.
3. Kelompok Mandelisa (Rohomoni) diangkat dari kelompok Moniya Tihusele ditetapkan Makuku Rahamete dengan gelar Sangaji, dimana marga Sangaji memegang tampuk pemerintahan sampai sekarang.
4. Kapitan Tuai Leisina Tuanoya sebagai Latu (Raja) untuk kelompok Haturesi (Hulaliu).
Dalam proses pengangkatan di atas menimbulkan protes dari Kapitan Kohiyasi, yang seolah-olah menghendaki kedudukan tersebut, sesuai dengan kapatah sebagai berikut:
Musunipi kup lete asai Lounusa, o
Akipai hiti Latu Ronae, ea
Kohiyasi weitai kanamai, anakai Akipai Paria ipiri
Susa hee Latu Ronae, ihiti puna Latu Nusa Barakate
Namun sesuai dengan perjanjian bersama antara Kapitan Akipai dengan Kapitan Rihiya Hutubesy pada saat berakhir peperangan Uri-Siwa di gunung Sialana, maka Kapitan Ismail Akipai tetap melaksanakan pengangkatan tersebut dan ternyata pengangkatan tersebut berjalan baik tanpa seorangpun berani menghalanginya.
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa tugas dan fungsi daripada Kapitan Ismail Akipai adalah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban dari gangguan, baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, serta mengangkat kepala-kepala adat, Latu (Raja).
B. TERBENTUKNYA KERAJAAN ISLAM HATUHAHA
Berdasarkan informasi dari leluhur kami bahwa di Maluku Tengah tepatnya di pulau Haruku, bagian Utara terdapat sebuah kerajaan Islam yang bernama “Kerajaan Islam hatuhaha”, yang pada saat itu merupakan suatu kerajaan Islam yang terkuat di Lease. Kerajaan Islam Hatuhaha terbentuk daripada lima buah negeri yang disebut Amarima Lounusa, antara lain :
1. Haturesi (Hulaliu)
2. Matasiri (Pelau)
3. Sahapori (Kailolo)
4. Samasuru (Kabauw)
5. Mandelisa (Rohomoni)
Kerajaan Islam Hatuhaha ini sebelumnya bernama Kerajaan Hatuhaha, dimana pada tahun 1380 Miladiyah kerajaan tersebut dibawah pengawasan seorang Kapitan yang bernama Kapitan Ismail Akipai yang sakti mandraguna, namun struktur pemerintahannya belum diatur sebagaimana halnya suatu kerajaan.
Dengan kedatangan Datuk Zainal Abidin di Jazirah Uli Hatuhaha pada tahun 1385 Miladiyah sebagai penyiar agama Islam banyak membawa perubahan sehingga pada tahun 1410-1412 Miladiyah agama Islam diterima secara bulat oleh masyarakat Amarima Lounusa. Pada saat itu juga Kerajaan Hatuhaha berganti nama menjadi Kerajaan Islam Hatuhaha, dimana pelaksanaan roda administrasi pemerintahan dibagi menurut kedudukan adat, antara lain:
1. Raja Matasiri (Pelauw) sebagai Latu Nusa Barakate Hatuhaha
2. Raja Haturesi (Hulaliu) sebagai Sekretaris Hatuhaha (penyimpanan arsip/ surat)
3. Raja Sahapori (Kailolo) sebagai Panglima Perang Hatuhaha serta penjaga keamanan terhadap bahaya yang datang dari dalam maupun dari luar Jazirah Uli Hatuhaha
4. Raja Samasuru (Kabauw) sebagai Ahli Perdagangan (koordinator bidang ekonomi)
5. Raja Mandelisa (Rohomoni) sebagai Imam Hatuhaha, hal ini didasarkan pada Muhudumu merupakan orang pertama yang diIslamkan
Setelah terbentuknya Kerajaan Islam Hatuhaha pada tahun 1410-1412 Miladiyah, tahun itu juga merupakan tonggak sejarah perkembangan agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha yang dapat mempersatukan Amarima Lounusa menjadi satu kesatuan, seperti diungkapkan pada kapatah di bawah ini:
Hatuhaha taha rua taha rima’o
Ite looka hiti haha ruma’ea
Ite looka hiti haha ruma’io
Irehu waela sala isya’i

Artinya :
Masyarakat Hatuhaha tidak ada perbedaan kelompok, baik dua maupun lima, mereka saling bantu membantu satu sama lain, karena mereka berasal dari satu pancaran mata air.
Dengan demikian setiap permasalahan yang timbul di Jazirah Uli Hatuhaha dapat dieselesaikan secara adat hatuhaha yang dinamakan “Musunipi” (musyawarah). Hal ini atas gagasan Kapitan Ismail Akipai.
Kerajaan Islam Hatuhaha pada awalnya merupakan satu negeri adat yang besar dalam sejarah, dengan kedudukan ibu negerinya dikenal dengan nama Amahatu yang terletak disekitar pegunungan Alaka. Namun karena proses perkembangan sejarah, negeri Hatuhaha ini terpecah menjadi lima buah negeri yang kesemuanya terpencar disepanjang pesisir pantai pulau Haruku bagian Utara. Negeri Haturesi (Hulaliu) merupakan satu-satunya pecahan negeri Hatuhaha yang penduduknya berpindah agama, sedangkan empat negeri lainnya tetap berpegang kepada agama Islam.

REFERENSI:
1). Richard Z. Leirissa, Drs, Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia, Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1975
2). Abu Bakar Ohorella, Pemuka Masyarakat Kailolo, 1989
3). Abdul Latif Tuanany, mantan Sekretaris Desa Kailolo, 1989
4). Hi. Kojabale Marasabessy, Pemuka Masyarakat Kailolo, 1989

Perang Alaka

KEDATANGAN BANGSA BARAT DI MALUKU
Bangsa Portugis merupakan orang barat pertama yang dilihat oleh orang Maluku adalah sekelompok pedagang dan tentara yang kedinginan yang terdampar di pulau Penyu tak jauh dari pantai Hitu. Hal ini terjadi pada tahun 1512. Rombongan yang celaka ini dipimpin oleh Fransisco Serrao yang sebenarnya merupakan sebagian utusan Panglima Portugis Alfonso d’Albuquerque yang pada tahun 1511 telah menduduki Malaka.
Para penguasa di Hitu menerima mereka dengan ramah setelah mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang datang dari dunia Barat untuk berdagang. Berita kedatangan ini diteruskan pula ke raja-raja Maluku. Sultan Bayanullah dari Ternate melihat suatu kesempatan untuk meluaskan perdagangan wilayahnya. Adiknya, Kaicili (Prins) Darwis, segera dikirim ke Hitu untuk membawa orang-orang Portugis ke Ternate. Dengan demikian sampai juga rombongan Serrao di kepulauan cengkeh itu. Sultan Tidore juga mencoba mengambil keuntungan dengan kedatangan orang-orang Portugis tapi terlambat mengirim utusannya. Dengan demikian kerajaan Ternate berhasil memajukan perdagangannya. Tapi hal ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1522, orang-orang Tidore dapat mengadakan hubungan dagang dengan orang-orang Spanyol yang datang melalui Philipina.
Keretakan Hubungan Ternate dan Portugis sebenarnya telah dapat dilihat sejak semula. Ini disebabkan karena hubungan itu tidak serasi, tidak seimbang. Selain itu juga disebabkan karena perbedaan pandangan hidup antara orang Portugis yang Kristen dan orang-orang Ternate yang Islam. Pada saat itu perbedaan antara kedua agama ini tajam sekali. Mereka berada di Ternate sampai tahun 1575, kemudian diusir oleh Sultan Babullah. Mereka kemudian pergi ke Ambon dan Malaka. Kemudian datang armada dagang Belanda ke Ambon, pada tahun 1599 yang dipimpin oleh Admiral Warwijck, kemudian pada tahun 1601 datang lagi suatu armada lain yang dipimpin oleh Admiral Steven van der Haghen yang disusul dengan armada van heemskerck. Penduduk Hitu sangat ramah menyambut armada ini karena sikap permusuhan orang-orang Belanda terhadap Portugis. Salah satu usaha orang-orang hitu untuk bersekutu dengan orang-orang Belanda adalah untuk mempertahankan kerajaan mereka. Sayangnnya persekutuan yang dimulai sejak tahun 1599 itu berakhir dengan perang sejak tahun 1634. Perlu diketahui sejak Admiral van der Haghen berhasil menaklukkan orang-orang Portugis dan merebut benteng mereka di Leitimur, maka selanjutnya VOC menganggap dirinya penguasa di Leitimur, Haruku, Saparua dan Nusalaut.
PERANG ALAKA I
Pada saat terjadi pembunuhan terhadap Sultan Hairun, maka sejak Tanggal 28 Februari 1570 sampai tahun 1575 terjadi perang antara kerajaan Ternate dengan Portugis. Yang memaklumat perang tersebut adalah Sultan Babullah, putera Sultan Hairun yang diangkat menjadi Sultan Ternate. Pada saat itu Babullah bersumpah tidak akan menghentikan perang sebelum semua orang Portugis terusir dari Ternate. Setelah pengepungan benteng Portugis di Ternate selama 5 tahun. Akhirnya orang-orang Portugis menyerah setelah persediaan makanan mereka habis. Mereka kemudian pergi ke Ambon dan Malaka.
Perang selama 5 tahun itu berkobar juga di pulau Ambon dan sekitarnya. Pasukan Hitu dengan diam-diam mendekati benteng Portugis di Ambon kemudian membakarnya. Ini merupakan kekalahan besar yang dialami oleh Portugis. Kepala Portugis di Ambon da Sylva mengambil keputusan untuk melarikan diri ke Malaka. Salah seorang Portugis yang bernama Sancho Vasconcellos memutuskan untuk tidak lari. Kemudian ia membuat suatu benteng baru di Leitimur di tempat yang bernama Urtetu.
Dari benteng inilah Portugis merencanakan penyerangan ke daerah yang penduduknya beragama Islam, mula-mula Kerajaan Hatuhaha akan diserang sebagai balasan terhadap serangan orang-orang Hatuhaha terhadap koloni Portugis di jazirah Uli Hatuhaha. Hal ini terjadi pada tahun 1571. Dengan adanya informasi tersebut, maka Kapitan-Kapitan dari Amarima Lounusa mengadakan musunipi (musyawarah) di Amahatu, lalu mereka mengutus Kapitan Moni dan Kapitan Payer dari Sameth untuk mengecek kegiatan Portugis di Ambon. Ternyata Portugis sedang mengadakan persiapan-persiapan untuk menyerang Kerajaan Islam Hatuhaha, kedua Kapitan tersebut kepada pimpinan-pimpinan Hatuhaha mengadakan persiapan-persiapan untuk menghadapi serangan dari pihak Portugis. Perempuan dan anak-anak diungsikan ke tempat yang aman, karena kota Alaka akan dijadikan benteng pertahanan termasuk daerah Hatu Alasia, Huamalelei, pos depan di Matasiri sampai Perigi lima dan Gunung Kita Kutu sampai Aumail, dimana daerah-daerah tersebut harus dijaga ketat. Sedangkan di daerah Asupu sampai di Gunung Aha, Noni, Air Risya dan Lana diserahkan kepada kelompok Monia Tihusela. Tidak lama kemudian terlihat 2 buah kapal dari Tanjung Hutumuri menuju Tanjung Oma (Haturelen) dan menurunkan sebagian pasukan di Oma. Pasukan ini akan bergerak ke benteng Alaka melalui Gunung Noni, dalam perjalanan orang-orang Portugis bertemu dengan seorang tua yang bernama Pattinama Latu dan menanyakan kepada orang tua tersebut, perihal jalan menuju benteng Alaka. Pattinama Latu mengatakan bahwa tidak ada jalan di sini selain jalan setapak tapi sukar dilalui, sesuai pepatah berikut :
Portugis irowa lala teu-teu’o
Samaninia lalano unania’ei
Ipatania Pattinama Latua
Taha lalan suwetine

Ternyata Pattinama Latu menunjukan jalan yang salah, akhirnya orang-orang Portugis terpaksa kembali ke pantai dan naik ke kapal. Selanjutnya mereka berlayar dari tanjung Oma menuju pesisir pantai jazirah Uli Hatuhaha melintasi Waerusia Haruku sampai di Totu. Ketika meereka sampai di Tapuraloi arah ke utara dari Totu, saat itu juga keluarlah seekor ular naga dari lubang batu dan menenggelamkan kapal Portugis tersebut, semua orang Portugis yang berada di kapal tersebut meninggal dunia. Sehingga masyarakat Uli Hatuhaha menamakan lubang batu tersebut dengan nama Goa Ular (Nia Owanyi), yang hingga sekarang ular masih tetap keluar dari lubang batu tersebut.
Kejadian tersebut membuat orang-orang Portugis menganggap pelayaran melalui pesisir pantai sangat berbahaya, seminggu kemudian Sancho vasconcellos mengirim dua buah kapal lagi dengan pasukan yang tangguh. Satu kapal menuju Saparua (Kerajaan Islam Iha Ulupalu) dan satu lagi menuju jazirah Uli Hatuhaha, dan mendarat di pelabuhan Haita namalatu (Matasiri/Pelauw). Mereka kemudian membuat sebuah benteng di Namalatu (Matasiri) untuk melindungi mereka dari serangan orang-orang Hatuhaha, namun pihak Portugis selalu hidup dalam keadaan takut karena pasukan Hatuhaha seringkali mengadakan serangan-serangan secara tiba-tiba kemudian menghilang. Ketika Portugis mengadakan patroli di sekitar Matasiri, mereka bertemu dengan beberapa wanita yang turun dari benteng Alaka untuk mencari bia (siput). Wanita-wanita tersebut dikejar oleh pihak Portugis dan mereka berhasil menangkap seorang, lalu wanita tersebut di bawa ke benteng Namalatu, saat pemeriksaan wanita tersebut tidak dapat menjawab satu pertanyaanpun, terpaksa wanita itu disuruh kembali ke tempat asalnya (benteng Alaka) dengan diberikan bahan-bahan makanan seperti kue-kue dan sekarung beras yang telah dilobangi. Orang-orang Portugis mengikuti wanita tersebut dari belakang sesuai dengan beras yang tercecer sepanjang jalan dan mereka sampai di Louwi, dimana jarak dari Louwi ke benteng Alaka kira-kira 1 km. Orang-orang Portugis kemudian kembali ke benteng Namalatu guna mengadakan persiapan-persiapan untuk menyerang benteng Alaka. Sebelum melakukan penyerangan ke benteng alaka, pimpinan Portugis mengirim satu pasukan untuk mengintai suasana di sekitar benteng Alaka, tiba-tiba mereka diserang oleh pasukan Hatuhaha menyebabkan mereka kembali ke benteng Namalatu dan memberitahukan kepada pimpinan mereka, bahwa orang-orang Hatuhaha telah mengadakan persiapan-persiapan guna menghadapi pasukan Portugis. Dengan kondisi yang demikian, Portugis kemudian membuat benteng-benteng pertahanan seperti benteng Haita Huniase di Kabauw, benteng Haita Pesy di Rohomoni dan benteng di Haruku/Sameth, agar dengan mudah dapat melakukan penyerangan ke benteng Alaka. Keadaan ini telah sampai kepada pimpinan Kerajaan Islam Hatuhaha. Pimpinan Hatuhaha kemudian memerintahkan semua Kapitan untuk mempertahankan benteng Alaka sampai titik daerah penghabisan. Pertahanan Hatuhaha dibagi menjadi dua sektor, sektor pertama meliputi daerah Hatuamen, Auwael-Waelapia dan sekitarnya dipimpin langsung oleh Panglima Perang Hatuhaha Kapitan Akipai dan Kapitan Henai Marabali, sektor kedua meliputi daerah Amatomu, Gunung Noni sampai daerah Kita Kutu dipimpin oleh Kapitan Monia Tihusela, Kapitan Resi Tomalane dan Kapitan Patti kasim, serta dibantu oleh Kapitan Pattipelohi dan anak buahnya dari Kerajaan Islam Iha Ulu Palu di jazirah Hatawano (Saparua). Hal ini disebabakan, karena Kerajaan Islam Hatuhaha dan Kerajaan Islam Iha Ulu Palu saling bantu membantu dalam menghadapi Portugis. Sedangkan sektor Gunung Asupu dibiarkan terbuka, karena Portugis sukar melintasi gunung tersebut.
Saat fajar menyingsing, mulai kelihatan pasukan Portugis yang bergerak melalui Wae Irae, kedua pasukan ini akan ketemu di Wae Usiyuei kemudian bergerak ke Kita Kutu. Tiba-tiba daerah Kita Kutu ditutupi oleh kabut disertai dengan angin topan sehingga daerah tersebut menjadi gelap, akibatnya Gunung Alaka hilang dari pandangan orang Portugis. Orang-orang Portugis sangat takut sekali dengan keadaan ini pasukan Hatuhaha melakukan taktik sergapan, serangan-serangan dilangsungkan dengan sangat tiba-tiba dan diam-diam dari semua jurusan. Hampir seluruh pasukan Portugis dibunuh, hanya tinggal beberapa orang yang berhasil meloloskan diri dan kembali ke benteng Namalatu Matasiri. Pasukan Hatuhaha kembali mengambil posisi di benteng Alaka untuk menjaga jangan sampai ada serangan balasan.
Dalam perang Alaka I inilah timbul semboyan untuk masyarakat Uli Hatuhaha adalah Hatuihaha yang artinya :
Hahale pela hahale toma hatirisa lotomena roti lounusa
Kala nusa Hitu, taha kala nusa Hatuihaha
barakate Barakate Hatuihaha Naga Yarimau
.
Semboyan ini melambangkan suatu keyakinan yang teguh untuk masyarakat Uli Hatuhaha, yang berwatak keras, sehingga dalam setiap peperangan mereka pantang mundur.
Dengan kekalahan ini orang-orang Portugis mulai menyusun kekuatan kembali dengan jalan memintan bantuan dari pimpinan Portugis di Malaka, menyiapkan beberapa buah kapal yang dilengkapi dengan meriam, serta pada setiap benteng ditempatkan meriam seperti benteng Namalatu Matasiri, benteng Huniyasi Samasuru, benteng Haruku Sameth.
Rencana Portugis ini cepat diketahui oleh masyarakat Uli Hatuhaha, sehingga untuk menghadapi serangan-serangan dari Portugis. Panglima perang Hatuhaha Kapitan Akipai paria memerintahkan Kapitan henai Marabali agar mengumumkan kepada masyarakat Amaria Lounusa, untuk menghadiri musunipi yang akan dilaksanakan di benteng Alaka. Dalam musunipi tersebut salah seorang yang bernama Kapitan Leisina Noya dari Haturesi Rekanyawa (Hulaliu) mengusulkan agar mempersiapkan kayu-kayu besar di bukit benteng Alaka, sehingga bila pasukan Portugis mendaki bukit benteng Alaka, sehingga bila pasukan Portugis mendaki gunung Alaka maka kayu-kayu tersebut dilepaskan dan menindis mereka. Berita ini tersebar di beberapa daerah, sehingga bala bantuan pun datang, dari Kerajaan Iha Ulu Palu dipimpin oleh Kapitan Pattipelohi, Kapahaha (Leitimur) Ambon, Nunusaku Seram (Haitala) dan sebagainya. Pertempuran-pertempuran berjalan sengit, tembakan bertubi-tubi dilepaskan dari armada-armada maupun dari benteng-benteng Portugis namun tidak mencapai sasaran. Bersamaan dengan itu pasukan Portugis pun mulai melangsungkan perang darat, mereka mulai mendaki gunung Alaka, pada saat itu juga pasukan Hatuhaha melepaskan kayu-kayu besar yang telah dipersiapkan, sehingga banyak pasukan mati tertindis. Serangan-serangan dengan taktik ini demikian berhasil sehingga pasukan Portugis terpaksa mengakui kekalahan. Portugis kemudian memberi kebabasan kepada masyarakat Uli Hatuhaha dan keadaan jazirah Hatuhaha mulai tenang kembali. Dalam perang ini banyak juga korban dari pihak Hatuhaha seperti Kapitan Pattipelohi dan anak buahnya, dari pihak Uli Hatuhaha sendiri maupun dari Nunusaku.
Setelah berakhirnya perang Alaka I ini, datanglah ke jazirah Uli Hatuhaha Kapitan Aipassa menanyakan tentang Kapitan Pattipelohi dan anak buahnya, ternyata mereka telah gugur sebagai pahlawan. Kemudian Kapitan Aipassa ingin bertemu dengan Kapitan-Kapitan, Tua-Tua adat dan Pemuka masyarakat Uli Hatuhaha guna membicarakan persahabatan antara jazirah Hatawano dengan jazirah Hatuhaha Amarima Lounusa. Dalam pertemuan tersebut lahirlah suatu keputusan bersama yang menegaskan bahwa jazirah tersebut merupakan kakak beradik, yang dikenal dengan nama wari-wa’a. pada tahun 1599 berakhirlah segala permusuhan antara Kerajaan Islam Hatuhaha dengan orang-orang Portugis, kemudian muncullah bangsa Belanda pada tahun 1599.
PERANG ALAKA II
Kedatangan orang-orang Belanda (VOC) pada 1599 ke Maluku, dengan ekspedisi I yang dipimpin oleh Admiral Warwick, kemudian pada tahun 1601 datang lagi satu armada lain yang dipimpin oleh Admiral Steven van der Haghen yang disusul dengan armada van Heemskerck. Dinama pada saat itu Portugis masih menguasai 4 daerah, antara lain jazirah Leitimur (Ambon), jazirah Uli Hatuhaha (Haruku), jazirah Hatawano (Saparua) dan Nusalaut. Setelah Admiral van der Haghen berhasil mengalahkan orang-orang Portugis dan merebut benteng mereka di Leitimur, pada saat itu juga Belanda (VOC) menganggap dirinya penguasa di 4 daerah tersebut di atas.
Pada 1637, kompeni Belanda mulai melancarkan penekanan-penekanan dalam bentuk monopoli hasil-hasil rempah seperti cengkih dan pala, di nama masyarakat Uli Hatuhaha dipaksa dan diharuskan hanya menjual cengkih dan palanya kepada kompeni Belanda dengan ketentuan harga yang amat rendah. Selain itu juga ada persyaratan-persyaratan lain seperti pala dan cengkih harus diseleksi, misalnya jika terdapat sedikit kotoran atau hal-hal yang tidak sesuai dengan seleksi kompeni Belanda (VOC), maka cengkih dan pala tersebut tidak dibayar, tetapi disita ataupun kalau jadi dibeli, maka Kompeni Belanda tidak membayarnya dengan uang tunai, tapi diberi semacam bon dari kulit kayu. Selain itu Kompeni Belanda (VOC), menganggap masyarakat Uli Hatuhaha adalah masyarakat belum beradab sebab mereka masih beragama Islam. Ternyata dari 5 buah negeri yang tergabung dalam Uli Hatuhaha, hanya negeri Haturesi (Hulaliu) yang berhasil dikristenkan pada saat berakhirnya perang Alaka II.
Oleh karena itu, usaha-usaha untuk meng-kristenkan masyarakat Uli Hatuhaha inilah semakin mempertebal rasa dendam umat Islam terhadap Belanda (VOC), serta rencana pembunuhan terhadap Kapitan Rumbesi Matakauw oleh Belanda (VOC). Hal ini disebabkan kisah cinta antara Kapitan Rumbesi Matakauw dengan puteri Raja Waai, dimana puteri Raja Waai dipaksakan oleh orang tuanya, untuk kawin dengan putera Raja Hila yang bernama Mustafi Hasan dan ibunya berasal dari Sahapori (Kailolo).
Karena rasa cintanya yang tulus kepada Kapitan Rumbesi Matakauw, maka puteri Raja Waai nekad bunuh diri daripada harus kawin dengan Mustafi Hasan. Sebelum Puteri Raja Waai tersebut melaksanakan niatnya, dia menulis sepucuk surat kepada kekasihnya (Rumbesi Matakauw), agar jenazahnya dimakamkan di Jazirah Uli Hatuhaha. Raja Waai tidak bisa menerima perlakuan ini, Beliau kemudian melaporkan peristiwa ini kepada Kompeni Belanda (VOC). Kompeni Belanda kemudian memerintahkan penangkapan terhadap Kapitan Rumbesi Matakauw hidup atau mati. Hal ini disebabkan pada saat itu Raja Hila adalah orang yang sangat dipercayai oleh Kompeni Belanda (VOC), sehingga Raja Hila diangkat menjadi Contuler (Camat).
Pada awal 1638, masyarakat Uli Hatuhaha mengumumkan perang kepada Kompeni Belanda (VOC). Tampillah Kapitan-kapitan yang gagah perkasa, yang berulang kali mematahkan gelombang-gelombang serangan Kompeni Belanda (VOC). Pertempuran pantai disemua sektor berkobar, berulang kali pasukan Hatuhaha menghancurkan inti pasukan Belanda, sehingga pihak Belanda dibawah pimpinan Anthony van Diemmen memberi julukan sinis terhadap pasukan Hatuhaha itu sebagai “de stridj tegen de Moorse rebellen van Alaka”.
Sementara itu, pimpinan Belanda (VOC) di Ambon secepatnya mengakhiri peperangan dengan Kerajaan Islam Hatuhaha sebab di Leitimur ada timbul perang baru yang dipimpin oleh Kapitan Achmad Telukabessy (1643). Untuk itu Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya untuk merebut benteng Alaka, namun selalu gagal. Barisan-barisan pertahanan pasukan Hatuhaha disektor Sahapori (Kailolo) yang dipimpin oleh Kapitan Halapiri (Upu Anta) berhasil menghancurkan serangan Belanda di sektor Samasuru (Kabauw) dan Mandelisa (Rohomoni) dibawah pimpinan Kapitan Rumbesi Matakauw, pertempuran semakin hebat dengan datangnya bala bantuan dari Kerajaan Islam Iha Ulu Palu Saparua dibawah pimpinan Kapitan Aipassa (Tuhaha) sebab bantuan inilah yang menjadi dasar timbulnya hubungan pela antara negeri Amarima Lounusa dengan Tuhaha.
Dengan kehancuran total pasukan Belanda di sektor Sahapori (Kailolo) serta kuat dan tangguhnya pertahanan pantai di sektor Samasuru (Kabauw) dan Mandelisa (Rohomoni). Belanda semakin banyak mendatangkan bantuan reguler yang masih segar dari Ambon. Serangan dari laut dilipatgandakan sementara pasukan tempur didaratkan dengan tujuan menghancurkan kekuatan pasukan Hatuhaha di semua sektor pantai kartena Belanda (VOC) ingin secepat mungkin mengakhiri Perang Alaka II. Hal ini disebabkan oleh dua alasan, antara lain : 1)Di Jazirah Leitimur (Ambon), Achmad Telukabessy mulai mengadakan serangan-serangan terhadap pos-pos Kompeni Belanda di berbagai tempat. Ini berarti apabila pasukan Hatuhaha tidak dapat ditundukkan dalam waktu dekat maka eksistensi Belanda (VOC) berada dalam posisi sulit. 2)Di Eropa, badai peperangan antara Belanda dan Spanyol (1568-1648), dimana arus pertentangan antara umat Protentan dan Katolik secara politis turut mempengaruhi hubungan Spanyol dan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu pihak Belanda (VOC) amat gusar jika tidak secepatnya mengakhiri Perang Alaka II yang telah banyak menelan biaya maupun personil angkatan bersenjatanya, tentulah akan turut menggoncangkan sendi-sendi kekuasaan Belanda di Maluku bahkan di Indonesia umumnya. Ketakutan itu semakin menjadi dengan serangan-serangan lain terhadap Belanda (VOC) di Hila oleh Kapitan Kakiali dan Kapitan Telukabessy.
Menjelang akhir tahun kelima (1642) setelah meletusnya Perang Alaka II, Admiral Anthony van Diemmen dengan segala kekuatannya, mulai dipusatkan menghancurkan kekuatan pasukan Hatuhaha. Segenap kekuatan Belanda (VOC), baik darat maupun laut di Haruku, Ambon dan Saparua, dikerahkan untuk merebut benteng Alaka.
Di pagi subuh, pada Jumat, 28 November 1642, mulai penyerangan besar-besaran dilakukan oleh kompeni Belanda (VOC). Tembakan-tembakan yang beruntun dilancarkan dari kapal-kapal perang Belanda (VOC), diarahkan ke pusat-pusat pertahanan pasukan Hatuhaha, diiringi dengan pendaratan pasukan-pasukan darat. Bumi Hatuhaha bermandikan cahaya api peperangan. Pasukan-pasukan Hatuhaha yang telah siap tanpa keraguan menyerang pasukan darat Belanda (VOC). Disini hanya berlaku satu pilihan membunuh atau dibunuh.
Anthony van Diemmen menyadari, bahwa apabila pasukannya tidak maju terus maka kekalahan pasti dialami oleh pasukannya. Oleh karena itu tembakan-tembakan meriam terus ditingkatkan, untuk memberi peluang kepada pasukan darat terus maju ke pusat-pusat pertahanan pasukan Hatuhaha. Dalam sekejap saja, garis pertahanan pantai pasukan Hatuhaha di sektor Sahapori maupun di sektor Samasuru dan Mandelisa hancur total. Akibatnya semua basis pertahanan pantai dikuasai oleh Belanda (VOC), maka pasukan Hatuhaha mengundurkan diri ke pusat pertahanan di benteng Alaka. Di saat-saat yang amat genting tersebut, di pusat pertahanan benteng Alaka, timbullah gejala-gejala yang mengkhawatirkan, karena walaupun pasukan Hatuhaha masih kuat, akan tetapi akibat blokade darat dan laut serta serangan terus menerus, mengakibatkan supply kebutuhan makanan praktis terputus.
Untuk menghadapi kondisi ini, maka semua Kapitan Uli Hatuhaha mengadakan musunipi (musyawarah), dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa peperangan tidak mungkin dilanjutkan, menyerahpun tidak, tidak peduli apakah masyarakat Amarima Lounusa masih ingin melanjutkan peperangan atau tidak.
Dalam keadaan kritis tersebut, tiba-tiba muncullah puteri Hatuhaha yang bernama Monia Latuarina, Monia Latuarina muncul di bumi Hatuhaha bagaikan guntur dari langit di siang yang cerah, tatkala semangat dan harapan rakyat sudah patah, beliau menginjeksi ke dalam rohani pengikutnya semangat baru, bahwa oenindasan manusia atas manusia adalah suatu kejahatan yang nyata. Monia Latuarina langsung mengambil alih kepemimpinan perang, dengan pedang di tangan kanan meyakinkan rakyat Amarima Lounusa bahwa perang harus dilanjutkan sampai titik darah penghabisan.
Bumi Hatuhaha yang tadinya mulai lesu, tiba-tiba bangkit kembali semangatnya. Masyarakat Amarima Lounusa diperintahkan membuat jebakan-jebakan maut, berupa batu-batu besar dan batang-batang pohon besar pada segenap sisi dan lereng bukit ditahan dengan tali. Apabila pasukan Belanda (VOC) sudah mencapai lereng benteng, tali-tali kemudian diputuskan, batu-batu besar dan batang-batang kayu raksasa akan meluncur kearah sasaran. Inilah taktik perang kuno yang paling mendatangkan kerugian pada pihak Belanda (VOC) sepanjang sejarah perang Alaka.
Tampilnya Monia Latuarina sebagai pimpinan perang Alaka II, dengan siasatnya perangnya yang lebih banyak mendatangkan kerugian pada pihak Belanda (VOC), membuat rakyat lebih bersemangat. Kelihatannya pihak Belanda mulai mengalami kemelut baru, pemerintah kompeni Belanda di Ambon mengambil tindakan tegas, yakni perang Alaka II segera ditumpas dan perintah penangkapan terhadap Monia Latuarina hidup atau mati.
Anthony van Diemmen, kali ini harus meyakinkan pasukannya bahwa kehormatan Belanda (VOC) di jazirah ini sedang teruji, apabila perang Alaka II ini tidak cepat diselaesaikan, maka kekuasaan Belanda (VOC) akan terancam untuk selama-lamanya. Atas dasar ini Anthony van Diemmen mengambil resiko paling berbahaya, tidak peduli berapa kerugian material maupun personal nanti, seluruh kekuatan bersenjata dari Haruku, Saparua dan Ambon kembali dihimpun dan dikerahkan. Pasukan Belanda (VOC) melancarkan serangan-serangan yang mematikan.
Walaupun Monia Latuarina dengan para Kapitannya, berusaha bertahan, tetapi pada akhirnya mereka harus mengakui keunggulan dan kelebihan pihak Belanda (VOC), terutama dalam hal persenjataan dan perbekalan. Benteng Alaka yang tengguh dapat dikuasai pada akhir 1644, bertepatan dengan meletusnya perang Kapahaha di Leitimur (Hitu) di bawah pimpinan Kapitan Achmad Telukabessy. Sang Srikandi Monia Latuarina, bersama pengikutnya masuk ke hutan dan melakukan perang gerilya, namun kekuatan mereka telah lumpuh. Dengan kemenangan ini, Belanda (VOC) mulai melakukan praktik-praktik lamanya, mengisap rakyat dan menghina agama umat yang dijajahnya.
Sang Srikandi Monia Latuarina, hilang dalam kabut misteri sejarah dan kisahnya maupun kepahlawanannya, tetap diperdengar oleh masyarakat Amarima Lounusa, pada saat perayaan adat, dalam bahasa lania dan syair-syair sejarah yang indah dan mengharukan.
Sesungguhnya perang Alaka adalah juga sebuah perang besar yang pernah terjadi di Maluku, yakni pada 1571, perang melawan bangsa Portugis yang dikenal dengan nama Perang Alaka I, sedangkan pada 1638 perang melawan kompeni Belanda (VOC) yang dikenal dengan nama Perang Alaka II. Bukti-bukti historisnya masih dapat diperoleh sampai saat ini di negeri-negeri Amarima Lounusa di pulau Haruku. Bukti-bukti benteng, meja musyawarah serta bukti-bukti sejarah lainnya masih tetap utuh dan dipelihara dengan rapi oleh anak cucunya.

REFERENSI:
1. Richard. Z. Leirisa, Drs. Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia, Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1975.
2. M. Nur Tawainella, Drs. Perang Alaka, 1988.
3. A. Latif Tuanany (mantan Sekdes Kailolo), Tinjauan Selayang Pandang Tentang Jazirah Uli Hatuhaha, 1989.
4. Abu Bakar Ohorella, Pemuka Masyarakat Kailolo, 1989.
5. Hi. Kojabale Marasabessy, Pemuka Masyarakat Kailolo, 1989

Adat Istiadat Perkawinan di Desa Kailolo

A. Pendahuluan
Apabila sepasang muda-mudi telah menjalin hubungan cinta selama bertahun-tahun dan telah membuat rencana untuk masa depannya, telah memiliki landasan yang kokoh dan merasa sudah cocok, maka tidak ada hal lain yang patut mereka harapkan selain menyatukan diri dalam ikatan perkawinan.
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin, jasmani dan rohani yang tak terpisahkan dan merupakan akhir dari masa pacaran serta awal dari kehidupan berumah tangga untuk meniti masa depan yang harmonis, bahagia dan lestari dengan segala tumpuan hati, senasib, sepenanggungan,dan sehidup semati. Apapun yang akan terjadi, segala rintangan akan ditempuh dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri masing-masing.
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan tiap daerah mempunyai adat istiadat tersendiri, begitu pula adat istiadat perkawinan di desa Kailolo. Adat istiadat di desa kailolo pada umumnya sama dengan adat istiadat perkawinan di desa Rohomoni, Kabauw, dan Pelauw. Keempat desa diatas tadinya merupakan satu negeri yang besar, yang dikenal dengan nama “HATUHAHA” yang berkedudukan di Amahatu, daerah di sekitar pegunungan Alaka yang terletak di pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah.
Karena proses perkembangan sejarah negeri adat ini pecah menjadi lima buah negeri, yang kesemuanya tersebar di pesisir pantai Pulau Haruku bagian Utara, diantara keempat negeri tersebut hanya negeri Hulaliu yang berpindah agama ke agama Kristen, sedangkan keempat negeri tersebut diatas masih tetap berpegang kepada ajaran agama Islam.
B. Upacara Perkawinan
Peminangan
Peminangan merupakan langkah awal dari ikatan perkawinan, suatu upaya yang dilakukan atau dikatakan oleh seorang pria untuk mengungkapkan hasratnya. Biasanya, jika pihak keluarga pria sudah menyetujui pilihan akan calon menantunya, maka datanglah keluarga pihak pria ke rumah keluarga si gadis untuk meminang si gadis. Setelah persetujuan tercapai, maka beberapa hari kemudian keluarga pihak pria datang kembali untuk menentukan hari pernikahannya. Pada saat datang untuk menentukan hari pernikahan, keluarga pihak pria membawa kain putih dua pis dan uang secukupnya yang diselipkan dalam kain putih, dimana dua kain putih tersebut diperuntukkan kepada orang tua si gadis. Dengan pemberian dua kain putih dan uang secukupnya kepada orang tua si gadis, menandakan bahwa peminangan resmi diterima, serta pada hari itu juga ditetapkan hari penyelenggaraan upacara perkawinan.
Mapua
Pagi harinya, sebelum melakukan akad nikah (selesai shalat Ashar), dilakukan upacara Mapua. Pada saat itu calon pengantin pria ditemani oleh seorang ibu pergi berkunjung keseluruh keluarga calon pengantin wanita dengan membawa tempat sirih dan uang secukupnya.
Akad Nikah
Di hari akad nikah dilangsungkan, calon pengantin pria bersama para pengiringnya menuju ke rumah calon pengantin wanita dengan membawa maharnya dan harta perkawinan. Sesampainya di rumah calon pengantin wanita, mereka disambut oleh pihak keluarga calon pengantin wanita.
Semenatara pengantin pria melakukan akad nikah, pengantin wanita menunggu di dalam kamar. Pada saat itu, pihak keluarga pengantin pria menyerahkan mahar dan harta yang diterima oleh pihak keluarga pengantin wanita. Usai melakukan upacara akad nikah, pengantin pria masuk ke kamar pengantin wanita untuk memasukkan cincin emas ke jari manis pengantin wanita, yang menandakan bahwa mereka telah menjadi suami istri secara syah menurut hukum agama maupun hukum adat. Setelah itu, kedua pengantin pergi menyalami keluarga pengantin wanita.
Tauri
Selesai upacara akad nikah, pihak keluarga pengantin wanita mengadakan jamuan makan. Jamuan makan ini dikenal dengan nama Tauri. Tauri ini khusus dilaksanakan untuk menjamu pihak keluarga pengantin wanita, dimana hidangan yang disediakan pada saat itu berasal dari pihak keluarga pengantin pria.
Fisibarua-Laloi
Sebelum pengantin wanita diantar ke rumah pengantin pria pada malam harinya. Saat itu pihak keluarga pengantin pria datang menjemput pengantin wanita, mereka juga membawa tempat sirih yang di dalamnya terdapat sejumlah uang, yang dikumpulkan dari pihak keluarga pengantin pria maupun pihak keluarga pengantin wanita. Nantinya uang tersebut akan diserahkan kepada pihak keluarga pengantin wanita pada saat pihak keluarga pengantin pria datang menjemput pengantin wanita.
Ma’ahisirima
Ketika pengantin wanita dan pengantin pria hendak menuju ke rumah pengantin pria, dalam perjalanan kedua pengantin dicegat oleh beberapa orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengantin wanita. Orang yang bisa melakukan pencegatan terhadap kedua pengantin apabila ibunya mempunyai hubungan keluarga dengan ayah pengantin wanita. Saat pencegatan, pihak keluarga pengantin pria harus memberikan sesuatu yang berharga, baik berupa piring 1 lusin, gelas 1 lusin, kain batik 1 buah maupun uang, sesuai dengan keinginan pencegat. Permintaan si pencegat harus diberikan pada saat itu juga, baru kedua pengantin bisa melakukan perjalanan kembali ke rumah pengantin pria. Hal ini menandakan bahwa mulai hari itu pengantin wanita sudah menjadi keluarga pengantin pria.
Ma’atarur
Pada saat pihak keluarga pengantin pria datang ke rumah pengantin wanita untuk menjemput pengantin wanita kemudian bersama-sama menuju ke rumah pengantin pria, pihak keluarga pengantin wanita yang ikut mengantar saat itu. Beberapa orang akan tinggal bersama kedua pengantin yang dikenal dengan nama “Ma’atarur”.
Ma’atarur ini akan tinggal beberapa hari dengan kedua pengantin. Setelah tiba saatnya mereka akan diantar kembali ke rumah masing-masing oleh kedua pengantin, dengan diberi hadiah berupa barang maupun uang dari kedua pengantin.
Sasiwasou
Setibanya iring-iringan kedua pengantin di rumah pengantin pria, pengantin wanita langsung menuju kamar pengantin yang telah disediakan dan salah seorang ibu dari pihak keluarga pengantin pria menaikkan kaki pengantin wanita ke atas tempat tidur, kemudian menyuapnya dengan makanan adat yang telah disediakan kepada pengantin wanita. Setelah itu dibacakan doa keselamatan untuk kedua pengantin. Upacara ini dikenal dengan nama “Sasiwasou”. Sasiwasou ini juga menandakan bahwa pengantin wanita sudah dikenal atau diterima sebagai salah seorang anggota keluarga dari pengantin wanita.
Resepsi Perkawinan
Setelah selesainya upacara Sasiwasou, pengantin pria menuju ke kamar pengantin untuk menjemput pengantin wanita kemudian kedua pengantin menuju ke “Pelaminan atau Puadi”, tempat bersandingnya kedua pengantin di dalam perkawinan. Dalam resepsi perkawinan ini dilaksanakan pula beberapa acara seperti : Nasihat Perkawinan, Pembacaan Doa serta Jamuan Makan. Setelah selesai jamuan makan, kedua pengantin menerima ucapan selamat dari para tamu. Dengan demikian seluruh rangkaian upacara pernikahan pun selesai.
C. Harta Perkawinan
Kain Putih
Kain putih dua pis yang di dalamnya diselipkan sejumlah uang, harta ini diberikan oleh pihak keluarga calon pengantin pria kepada orang tua calon pengantin wanita pada saat penentuan hari pernikahan.
Mahar
Mahar (mas kawin), besar maupun jenisnya tergantung permintaan calon pengantin wanita tanpa ikut campur tangan dari orang tua calon pengantin wanita. Mahar ini diserahkan pada saat akad nikah.
Inyain Susah
Harta ini berupa uang yang diberikan kepada orang tua calon pengantin wanita, atas jerih payah Ibu yang telah melahirkan, mengasuh dan merawat calon pengantin wanita serta jasa baik dari ayahnya.
Fisibarua Laloi
Uang yang diberikan kepada orang tua pengantin wanita pada saat pihak keluarga pengantin pria datang menjemput pengantin wanita untuk dibawa ke rumah pengantin pria.
Cincin Kawin
Cincin kawin ini akan diserahkan atau dimasukkan ke jari manis pengantin wanita oleh pengantin pria setelah akad nikah.
Iny Harta
Harta ini lebih besar daripada Inyain Susah yang diberikan kepada orang tua pengantin wanita pada saat akad nikah.
Upunainnyi
Upunainnyi ini berupa kelengkapan tempat tidur seperti kelambu (tambir), seprei serta sarung bantal. Ini adalah pemberian dari orang tua pengantin wanita kepada orang tua pengantin pria, dimana apabila terjadi pertengkaran yang mengakibatkan perceraian  antara kedua suami istri maka perlengkapan dari Upunainnyi ini tidak dapat ditarik kembali oleh si istri. Walaupun perlengkapan ini dibawa bersama harta pembawaan lainnya oleh pengantin wanita dari rumahnya sendiri.
Ahauntauwi
Ahauntauwi ini berupa perlengkapan rumah tangga seperti perlengkapan dapur, lemari pakaian, tempat tidur, kasur, kain pintu, kain jendela dan lain sebagainya. Harta ini dibawa oleh pengantin wanita dari rumahnya sendiri, dimana harta ini merupakan pemberian dari sanak keluarga pengantin wanita. Apabila terjadi pertengkaran yang mengakibatkan perceraian, maka seluruh harta pembawaannya itu akan ditarik kembali oleh pengantin wanita.
Maksud daripada Ahauntauwi ini adalah untuk menjaga martabat pengantin wanita agar tidak dianggap remeh, hina oleh keluarga pengantin pria, yang artinya pengantin wanita masuk ke rumah pengantin pria bukan dengan tangan kosong tetapi mempunyai harta yang dibawa serta.
Tepahandaloi
Tepahandaloi ini berupa beberapa lembar kain pelekat yang diberikan oleh orang tua pengantin wanita kepada pihak keluarga pengantin pria, dimana uang yang digunakan untuk membeli kain tersebut diambil dari uang harta pemberian orang tua pengantin pria. Hal ini merupakan balas jasa orang tua pengantin wanita dari apa yang telah mereka terima pada saat upacara perkawinan.
Mahai Waela Putui
Mahai Waela putui ini berupa bahan-bahan makanan yang dibawa dari rumah pengantin wanita ke rumah pengantin pria pada malam hari serta pada pagi harinya setelah upacara perkawinan.
Maksud dari Mahai Waela Putui adalah sebagai bekal bagi pengantin wanita selama beberapa hari, karena dia merupakan orang baru dalam lingkungan keluarga pengantin pria.
Harta Bersama
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah menjadi milik bersama dan apabila terjadi perceraian antara suami istri, maka harta tersebut akan dibagi dua artinya masing-masing memperoleh bagian yang sama.
D. Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan yang diterapkan di desa Kailolo, didasarkan pada hukum adat maupun agama. Suatu perkawinan dapat dilaksanakan bila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Setiap perkawinan harus didasarkan atas persetujuan dari kedua calon pengantin.
2. Untuk melangsungkan perkawinan bagi seorang gadis, maka harus mendapat restu dari kedua orang tuanya, dalam hal mendapat izin dari ayahnya.
3. Apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia, maka si gadis harus mendapat izin dari kakek (orang tua ayahnya), paman (saudara ayahnya), saudara laki-laki seayah.
4. Perkawinan harus diizinkan bila pihak laki-laki dan perempuan telah dewasa atau sudah berumur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
Perkawinan dapat dicegah apabila tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Bekas istri bapaknya
2. Ibunya yang melahirkan
3. Anaknya sendiri
4. Saudaranya sendiri (saudara kandung)
5. Saudara kandung bapaknya
6. Saudara kandung ibunya
7. Anak dari saudara laki-laki
8. Anak dari saudara perempuan
9. Perempuan yang pernah menyusui akan dia
10. Saudara sesusu
11. Ibu isterinya
12. Anak tirinya yang ibunya sudah dicampuri olehnya
13. Isteri anaknya sendiri
14. Saudara isterinya jika ia masih hidup
Persyaratan-persyaratan di atas berlaku dalam hukum adat maupun hukum agama di desa kailolo,sehingga perkawinan dapat dibatalkan apabila kedua pihak tidak memenuhi salah satu dari persyaratan tersebut.
Persyaratan-persyaratan diatas bila ditinjau dari ketentuan perundang-undangan serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, tentang pelaksanaan perkawinan saat ini, maka apa yang telah dikemukakan diatas tidak menyimpang maupun melanggar, tetapi selaras dengan tata cara adat maupun agama Islam yang jadi pedoman dalam adat istiadat perkawinan di desa Kailolo

1 komentar:

  1. Ma AF. Saya ingin sampaikan Bahwa mungkin Saudara sedikit Keliru tenkait 4 Bersaudara/i. Lawataka/lavtak adalah Anak dari Datuk Abdullah. & Nene boiratan adalah saudara kandungnya Datuk Abdllah...

    BalasHapus