I. UMUM
Berdasarkan seminar “Masuknya Islam ke Indonesia” yang dilaksanakan pada 17 – 20 Maret 1963 di Medan, menyimpulkan bahwa Islam masuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau sekitar dekade ke-tujuh dari abad ke-tujuh Masehi langsung dari Arab, dan bahwa kota Aceh, yang terletak di Barat Daya Sumatera, merupakan daerah pertama di Indonesia yang didatangi penyiar-penyiar agama Islam.
Penyiar-penyiar Islam yang datang di Indonesia saat itu diduga para saudagar atau mubaligh Arab dari Hadramaut, karena Arab Hadramaut itu sudah sampai ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah (Ke-tujuh Masehi), di antara saudagar dan mubaligh tersebut terdapat golongan Alawiyyin keturunan Sayyidina Hasan dan Husein bin Ali bin Abu Thalib, baik yang berasal dari Mekkah-Medinah maupun yang kemudian menetap di Hadramaut. Mereka berlayar ke Timur dengan maksud berdagang sambil berdakwah serta menyelamatkan diri dari pemerintahan Bani Umayah, yang terus menerus melakukan pengejaran dan pembunuhan atas keluarga Ahlul Bait (kaum Alawiyyin).
Selanjutnya, kerajaan Islam yang pertama di Indonesia, bahkan juga Asia Tenggara adalah sebuah kerajaan yang didirikan di Perlak pada 1 Muharram 226 Hijriyah atau 840 Masehi di bawah pemerintahan Sayyid Maulana Abdul Azis Syah, yang memegang tampuk pemerintahan dari 226-250 Hijriyah atau 840-864 Masehi. Ayahnya bernama Sayyid Ali bin Muhammad bin Jafar ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib.
Setelah itu bermunculan kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti kerajaan Samudera Pasai di Aceh pada tahun 434 H atau 1042 M dan kerajaan Islam yang juga di Aceh pada tahun 602 H atau 1205 M. Dari Aceh barulah agama Islam tersebar ke mana-mana, juga ke pantai-pantai di pulau Jawa dan di Indonesia Timur seperti Maluku. Perlu diketahui bahwa penyiaran agama Islam ke seluruh wilayah Indonesia secara resmi setelah berdirinya kerajaan Islam Samudera Pasai pada abad ke-13 Masehi.
II. MASUKNYA PENYIAR ISLAM DI JAZIRAH HATUHAHA
Salah seorang tokoh Islam yang mempunyai andil dan peran penting dalam penyiaran agama Islam di Maluku Tengah, khususnya di Jazirah Uli Hatuhaha adalah Datuk Zainal Abidin, yang kisah perjalanannya dalam penyiaran agama Islam sampai masuk ke Jazirah Uli Hatuhaha, mengundang berbagai pendapat antara lain:
Pendapat Pertama
Penyiar Islam di Jazirah Uli Hatuhaha adalah Datuk Maulana Zainal Abidin bin Husein bin Ali, cucu dari Imam Ali bin Abu Thalib yang berangkat dari Arab menuju tanah Cina, melintasi semenanjung Malaka dan pada permulaan abad ke-8 memasuki Indonesia melalui Aceh, di sini Datuk Zainal Abidin menyiarkan agama Islam tapi masih dalam bentuk menanamkan benih agama yang masih terbatas pada kelompok perorangan. Perjalanannya kemudian dilanjutkan ke Makassar (Gowa) dan menikah dengan seorang puteri Gowa dan memperoleh seorang putera yang diberi nama Saidi Alim. Selanjutnya Datuk Zainal Abidin berangkat ke Indonesia Timur dan singgah di Buton. Di sini Datuk Zainal Abidin menanamkan benih agama Islam melalui pendidikan formal dengan harapan agama Islam dapat diwariskan dan disebarkan di daerah tersebut, maka diangkatlah beberapa murid sebagai penggantinya yaitu Sultan Nalar Syafi’i dan Sultan Kaimuddin. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke daerah Maluku yaitu Jazirah Uli Hatuhaha, Saat itu pulau Haruku belum dihuni, Datuk Zainal Abidin kemudian kembali dengan meninggalkan bekas telapak kaki sebagai bukti bahwa Beliaulah orang pertama yang datang lebih dulu.
Kemudian Datuk Zainal Abidin datang untuk kedua kali ke Jazirah Uli Hatuhaha dengan suatu harapan tempat ini telah berpenghuni. Kedatangannya yang kedua ini sempat bertemu dengan “PURIASA” (salah seorang penduduk Uli Hatuhaha) dan raja Jin yang bernama “ABDULLAH” yang lazim dikenal dengan YARIMAU ALAKA. Pada saat itu Datuk Zainal Abidin sempat menyaksikan perdebatan antara Puriasa dengan Raja Jin, tentang siapa yang datang lebih dahulu ke Jazirah Uli Hatuhaha sebagai pertanda untuk menanamkan kekuasaan pada wilayah tersebut. Dengan nada spontan Datuk Zainal Abidin mengatakan bahwa beliaulah yang datang lebih dahulu dengan menunjukkan bukti bekas telapak kaki yang tertempel pada sebuah batu. Namun bukti tersebut belum menjadi alasan yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dengan alasan yang cukup realistis bahwa sejak kedatangan Datuk Zainal Abidin yang kedua ini Puriasa maupun raja Jin tidak pernah melihatnya. Dengan demikian mereka bertiga mengambil suatu kebijaksanaan melalui permainan “ENGGO” (permainan yang saling mencari tempat persembunyian), dengan syarat apabila di antara ketiganya salah satu tidak diketahui tempat persembunyiannya berarti dialah yang lebih dahulu menginjakkan kaki di Jazirah Uli Hatuhaha. Dari hasil permainan itu diputuskan secara mutlak bahwa Datuk Zainal Abidin-lah sebagai orang pertama yang memasuki Jazirah Uli Hatuhaha.
Untuk kedatangan ketiga kalinya di Jazirah Uli Hatuhaha, Datuk Zainal Abidin disambut oleh Kapitan Ismail Akipai di kawasan pantai sebelah Barat Uli Hatuhaha tepatnya di kawasan Wae Talat (Wae Poka Uru).
Pendapat Kedua
Datuk Zainal Abidin merupakan jelmaan dari Neira, salah satu datuk di antara empat datuk yang muncul secara gaib di kawasan Nusa Wakan. Keempat datuk tersebut adalah Salamon, Londor, Lawataka dan Neira serta saudara perempuan mereka yang bernama Boiratan.
Dalam pembagian tugas penyiaran agama Islam, Neira ditugaskan menyiarkan agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha yang menurunkan keturunan bermarga Marasabessy, Salamon menuju desa Tulehu yang menurunkan keturunan bermarga Ohorella, Lawataka menuju pulau Seramyang menurunkan keturunan bermarga Wakano, dan Londor menuju Bandayang menurunkan keturunan bermarga Nurbatty.
Dengan demikian, anggapan Datuk Zainal Abidin yang masuk melalui Banda ke Uli Hatuhaha adalah jelmaan dari “NEIRA” dan beliaulah adik dari keempat saudara Salamon, Londor, Lawataka, dan Boiratan.
Pendapat Ketiga
Penyiar agama Islam di jazirah Uli hatuhaha adalah Datuk Syarif Muhammad bin Zainal Abidin yang mempunyai keturunan dengan Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali RA, cucu dari Sayidina Ali bin Abu Thalib RA. Hal ini diperkuat oleh berbagai referensi, antara lain:
1) Prof. Dr. H. Abubakar Aceh, dalam bukunya “Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia”, halaman 9 dan 10 yang menjelaskan bahwa, Syarif Aulia (Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin) termasuk orang yang pertama menyiarkan agama Islam di Indonesia Timur, Beliau datang ke Jawa pada zaman Ampel tahun 801 Hijriyah (1398 Masehi) bersama anak dan saudara-saudaranya, begitu juga pamannya yang bernama Maulana Malik Ibrahim.
2) Al-Imam al-Allamah Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad, dalam bukunya risalah “al-Mu’awanah wa al-Muzhaharah wa al-Muwazarah li al-Raghibin bin Suluk al-Thariq al-Akhirah”, pada halaman 17 yang menjelaskan bahwa Sayyid Muhammad bin Ali Zainal Abidin al-Faqih al-Muqaddam merupakan datuk-datuk kaum Alawiyyin yang datang ke Indonesia untuk menyiarkan agama Islam. Beliau termasuk seorang tokoh Sufi paling terkenal di hadramaut, yang telah mencapai tingkat Mujtahit Mutlak dalam ilmu Syariat dan tingkat Qutb dalam ilmu Hakikat. Perlu diketahui Sayyid Muhammad bin Ali Zainal Abidin al-Faqih al-Muqaddam tidak termasuk tokoh Wali Songo.
3) Dr. Adil Muhyid Din Al Allusi, dalam bukunya “Al’urubatu Wal Islamu Fi Janubi Syarqi Asia Alhindu Wa Indonesia”, pada halaman 33 dan 34 menjelaskan bahwa orang pertama yang menyiarkan agama Islam di Indonesia Bagian Timur adalah Syarif Aulia (Maulana Zainal Abidin).
Pendapat Keempat
Berusaha mempertemukan ketiga pendapat di atas, yaitu penyiar agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha adalah Datuk Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin, yang mempunyai hubungan keturunan dengan Ali Zainal Abidin bin Husein bin Imam Ali RA, yang berangkat dari Hadramaut melalui tanah Cina, melintasi semenanjung Malaka kemudian pada akhir abad ke-13 memasuki Indonesia selanjutnya ke Makassar (Gowa) dan menikah dengan seorang puteri Gowa yang dikaruniai seorang putera dan diberi nama Saidi Alim. Selanjutnya beliau melanjutkan perjalanan ke Maluku yaitu Jazirah Uli Hatuhaha.
Kedatangannya yang kedua di Jazirah Uli Hatuhaha, dengan harapan dapat menyebarkan agama Islam. Kemudian Datuk Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin menikah dengan seorang puteri Puriasa yang bernama “Nunu Sumba”. Dari hasil perkawinannya ini Datuk Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin dikaruniai 4 orang putera dan 1 orang puteri yaitu Salamon, Londor, Lawataka, Neira dan Boiratan.
Datuk Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin meninggalkan mereka berlima yang masih kecil untuk melanjutkan penyiaran agama Islam di daerah lain dan seterusnya kembali ke tanah Arab. Karena rasa rindu ke-5 anak tersebut kepada orang tua mereka di samping ingin mendalami ilmu pengetahuan agama Islam, dengan tekad yang bulat serta dibekali sebuah Takraw Emas dan Nisyal Emas, titipan orang tuanya Datuk Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin, maka dilakukanlah perjalanan dari Nusa Wakan dan singgah di Nusa Banda untuk menitipkan saudara perempuan mereka “nene Boiratan”.
Setelah itu mereka berangkat ke tanah Arab dan singgah di Mesir seperti diungkapkan dalam “Kutumele Upu Haasyi”. Setelah kembalinya mereka dari Mesir, mereka singgah di Banda untuk menemui saudara perempuan mereka. Kemudian Neira ditugaskan kembali ke Jazirah Uli hatuhaha dan menikah dengan seorang puteri Wai yang bernama “Pikalina” dan dikaruniai 4 orang anak yaitu Putiiman, Tuturesy, Salarita dan Tita Hery, yang menurunkan marga Marasabessy, Salamon ke Tulehu yang menurunkan marga Ohorella, Lawataka ke pulau Seram yang menurunkan marga Wakano, Londor tetap di Banda yang menurunkan marga Nurbatty.
Pendapat ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
1) Alasan yang telah diuraikan pada ketiga pendapat tersebut di atas.
2) Berdasarkan silsilah kaum Alawiyyin (ahlul bait) yang dikeluarkan oleh Lembaga Al Maktab ad-Daimiy li Ihsha wadhabti Ansab al-Alawiyyin, yang menetapkan garis keturunan dari Ali Zainal Abidin bin Husein bin Imam Ali RA, yang wafat pada tahun 95 Hijriyah (714 Miladiyah) sampai dengan Abdullah bin Alwie bin Muhammad yang wafat pada tahun 731 Hijriyah (1328 Miladiyah), yang garis silsilahnya sebesar 17 tingkatan yang memerlukan waktu sebanyak 614 tahun. Sedangkan garis keturunan dari Datuk Zainal Abidin sampai dengan penulis adalah 17 tingkatan berarti memerlukan waktu 614 tahun pula. Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk di Jazirah Uli Hatuhaha sekitar tahun 1380 (1995 – 614), di mana pada tahun tersebut Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin merupakan orang pertama yang menyiarkan agama Islam di Indonesia Timur.
3) Berdasarkan informasi dari leluhur penulis bahwa saat terjadi perang Hoamoal pada tahun 1637, pasukan kerajaan Islam Hatuhaha mengirim bantuan ke Hoamoal yang dipimpin oleh Upu Maramena untuk melawan VOC. Bila dilihat dari silsilah marga Marasabessy, maka Upu Maramena berada di tingkat ke-6 (Datuk Zainal Abidin – Nira Boyake – Tita Hery – Lebe Mansur – Patty Poho I – Maramena), Sehingga dapat dipastikan bahwa Datuk Zainal Abidin hidup sekitar tahun 1380 (abad ke-14). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa agama Islam masuk di Jazirah Uli hatuhaha sekitar tahun 1380 Masehi.
Kebenaran perjalanan penyiaran agama Islam oleh Datuk Zainal Abidin ke Jazirah Uli Hatuhaha didasarkan pada beberapa informasi, untuk itulah diperlukan suatu pengkajian agar diperoleh kebenaran tentang sejarah perjalanan penyiar agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha.
III. PERJALANAN ZAINAL ABIDIN KE AMAHATU
Seperti yang dikisahkan pada uraian-uraian di atas bahwa kedatangan Datuk Zainal Abidin di Jazirah Uli Hatuhaha, tepatnya di kawasan Wae Talat(Wae Poka Uru) beliau disambut oleh Kapitan Ismail Akipai, karena Kapitan Ismail Akipai ditugaskan untuk merintis wilayah yang akan dimasuki oleh Datuk Zainal Abidin dalam tugas penyiaran agama Islam. Kapitan Ismail Akipai berdasarkan informasi juga berasal dari tanah arab. Sebagai Kapitan yang mempunyai kharisma yang tinggi dalam mengamankan wilayah Uli Hatuhaha terhadap gangguan dari luar, bersama Datuk Zainal Abidin mereka menuju ke pemukiman masyarakat Hatuhaha yang masih bermukim di “Amahatu”. Dalam perjalanan itu mereka sempat beristirahat di suatu tempat yang bernama “Kudamara” kemudian melanjutkan perjalanan ke “Matasiri” dan beristirahat di suatu tempat yang dianggap aman yakni “Asari Lanite”. Asari Lanite berasal dari kata Asari yang berarti rumah dan Lanite yang berarti langit/tingkat dan dapat diartikan sebagai sebuah rumah yang berbentuk tingkat tetapi lantai bawahnya kosong dan terbuka tanpa dinding. Di tempat itu pula Datuk Zainal Abidin menetap sambil mengajarkan agama Islam kepada para pengikutnya di Jazirah Uli Hatuhaha. Sewaktu tinggal di Asari Lanite Datuk Zainal Abidin selalu dikawal oleh Kapitan Ismail Akipai.
Selama berada di Asari Lanite, ada seorang pemuda yang bernama “Seihati” seringkali mendatangi tempat tersebut untuk meminta sisa-sisa makanan dari Datuk Zainal Abidin dan Kapitan Ismail Akipai. Ayah Seihati bernama “Atapari” yang berasal dari desa Passo. Seihati dan ayahnya tinggal di Totu dan pekerjaan mereka adalah nelayan (pembuat bubu). Karena berkeinginan untuk mencicipi kelezatan makanan bersama Datuk Zainal Abidin dan Kapitan Ismail Akipai, Seihati mencoba menawarkan diri untuk tinggal bersama mereka, namun secara halus Datuk Zainal Abidin menawarkan jaminan agar Seihati terlebih dahulu memeluk agama Islam baru dapat diizinkan tinggal bersama atau makan bersama. Atas permintaan ini, Seihati membujuk kedua orang tuanya (saat itu keluarganya masih menganut Animisme), dengan kerelaan dari kedua orang tuanya kemudian Seihati diIslamkan oleh Datuk Zainal Abidin seperti diungkapkan dalam kapatah (lani) di bawah ini:
Ikakuru wae tanusa laloi ia o
Apa pukane in dosa herinyea
Isyika Seihatia herinye
Ihehe nalai Muhudumu
Di sinilah awal masuknya Seihati sebagai pemeluk agama Islam yang kemudian mengganti namanya menjadi Haddam (dalam bahasa Arab Haddam artinya pelayan), kemudian namanya diganti lagi menjadi Muhudumu. Beliaulah orang pertama yang memeluk agama Islam dan mempunyai banyak keturunan di Mandalisa (Rohomoni). Selanjutnya Datuk Zainal Abidin, Kapitan Ismail Akipai dan Muhudumu menuju ke Amahatuauntuk bergabung dengan masyarakat Amarima Lounusa di Amahatua, seperti diungkapkan pada kapatah berikut ini:
Latu Akipai pa’aneha Latua Puriasa
Puriasa paatita Lounusa
Ipeki Akipai in salamu maute
Akipai ien salamu maute ia ole kura taha
Perlu diketahui bahwa, sebelum kedatangan Datuk Zainal Abidin di Jazirah Uli Hatuhaha, sudah ada masyarakat di situ, antara lain : Tuan tanah Amahatui yang bernama “Puriasa” yang berasal dari keturunan Kapitan Kawauw, Tuan tanah Nunu Saku pulau Seram (Nusa Ina), Kapitan Tuarihia yang menurunkan marga Latupono, kemudian tibalah kapitan-kapitan yang memiliki kesaktian luar biasa, seperti Kapitan Rihiya Hutubesy, Kapitan Yasi Matawoku, Kapitan Tua Hanai Marabali, Kapitan Waela Rumbesi, tiba lagi Kapitan Seipati Rimaba Karabesi dari gunung Ahiyo/Solo Huwa Nusa Ina, Kapitan Poisina-Sinai Mahu, Upu Karirae yang memperoleh seorang anak yang bergelar Kapitan Matakau Rumbesi serta saudara-saudaranya antara lain : Atia Niyai, Hirisyopa, Matasei (Samasuru), Kapitan Monia Tehusela dan Kapitan Paer (Mandelisa). Kapitan Pauwa Matawaru, Kapitan Samatuate dan Kapitan Tumbalakasiwa berasal dari Waesaleka (Mata Passo), kemudian muncul lagi tokoh Islam yang bernama Datuk Umar dari Mahu Bandar berasal dari keturunan Syech Maulana Magtur dari Teluk Persia yang melahirkan 5 orang anak yaitu : Pahuwae, Henakaiy (Henabesy), Lekaninia, Tua Masanea dan Saleman Patti, tiba lagi Kapitan Lesy Tomalena dan Kapitan Patti Kasim (Mandelisa). Kemudian tiba lagi seorang penganjur agama Islam yang bernama Maulana Malik Ibrahim (Pandita Mahu) dari keturunan Zainal Alam Barakat (Hadramaut), yang muncul di Tihumele adalah Kapitan Tuai Leisina Tuanoya, Kapitan Lesiputi, Kapitan Timinoya dari kelompok Haturesi Rekanyawa. Perlu diketahui pula kedatangan dari Tidore-Jailolo-Ternate, seperti Sumba Gulano di Matasiri, Sarpaleka Wasahua di Samasuru dan Upu Mambaleg di Mandalisa, sehingga daerah Hatuhaha banyak penghuninya, dimana keturunannya masih ada sampai sekarang. Pendatang di Jazirah Uli Hatuhaha banyak berasal dari Nunu Saku (pulau Seram), sedangkan tokoh-tokoh yang memegang pucuk pimpinan di Jazirah Uli Hatuhaha kebanyakan berasal dari Tanah Arab (Hadramaut).
Selain penghuni Jazirah Hatuhaha di atas, terdapat juga satu kelompok tertentu yang mendiami daerah sekitar pulau Haruku misalnya kelompok yang mendiami daerah gunung Sialana (Urisiwa), kelompok yang mendiami belakang gunung Huruwano (Masyarat Kariu), kelompok yang mendiami daerah Asupu, Hita, e, terdapat juga kelompok di Wae Risa-Lana gunung Ahe, serta kelompok yang mendiami gunung Noni bahkan di pesisir pantai.Sebelum kedatangan penganjur agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha, maka kepercayaan masyarakat pada saat itu masih menyembah berhala seperti batu-batu dan lain sebagainya. Bahkan anggapan mereka bahwa Tuhan itu ada di langit, yang dikenal dengan istilah “Laha Tala Lanite”.
Dengan kadatangan Datuk Zainal Abidin (Pandita Pasai) di Jazirah Uli Hatuhaha, yang merupakan tokoh pertama penganjur agama Islam, maka agama Islam mulai mendapat tempat di masyarakat Jazirah Uli Hatuhaha. Sehingga pada tahun 1410-1412 bertepatan dengan terbentuknya Kerajaan Islam Hatuhaha, dengan suatu ketegasan dari Datuk Zainal Abidin maka seluruh masyarakat Amarima Lounusa memeluk agama Islam.
Selain sebagai penganjur agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha, Datuk Zainal Abidin juga menyiarkan agama Islam di Jazirah Hatawano Iha, yang diproklamirkan menjadi Kerajaan Islam Iha Ulu Palu pada tahun 1412, dimana beliau menapakkan kaki di sebuah pulau kecil sehingga pulau tersebut dinamakan Pulau Maulana dekat pulau Saparua. Beliau juga menyiarkan agama Islam di Seram Selatan, Seram Timur, Jazirah Huamual (Luhu) dan Jazirah Leitimur (Hitu) sebelum tiba utusan dari Sunan Giri (Raja Pelatine dan Pulatu).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Datuk Zainal Abidin mempunyai peranan yang cukup besar sebagai penganjur agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha serta pembentukan Kerajaan Islam Hatuhaha. Penyebaran agama Islam di Jazirah Uli Hatuhaha tidak menimbulkan kegoncangan di kalangan Amarima Lounusa karena Islam yang baru datang tersebut tidak melarang masyarakat Amarima Lounusa menjalankan adat istiadat dan tradisi maupun kebudayaan khusus, sehingga mereka yakin benar Islam tidak memisahkan masa kini dengan masa lalu. Malah Islam ingin menjalin kebahagiaan dunia dan akhirat. Islam senantiasa menghindari terjadi kegoncangan di kalangan masyarakat Amarima Lounusa, selalu berusaha mempertemukan perbedaan-perbedaan yang ada, paling tidak berusaha menyesuaikan sebagian adat istiadat dan tradisi setempat dengan praktek-praktek yang didekatkan dengan dasar-dasar Islam. Sudah tentu praktek penyesuaian itu tidak boleh mengorbankan pilar-pilar Islam, terutama fardhu (rukun Islam) yang lima. Jadi di satu sisi Islam memperkeras pengukuhan tauhid kepada Allah SWT dan kenabian Muhammad SAW, mengumandangkan dua kalimat syahadat dan memerintahkan penunaian ibadah yang suci yakni shalat. Namun di dalamnya masih ditemukan kelunakan-kelunakan dalam berbagai segi yang dianggap tidak menyimpang dengan pokok-pokok ajaran Islam.
Disusun Oleh:
Ir. Rasyid Marasabessy
Ir. Rohani Ohorella
Referensi:
1. Prof. Dr. H. Abubakar Aceh. Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia. Indonesia. 1871.
2. Dr. Adil Muhyid Din al-Allusi. Al’urubatu Wal Islam Fi Junubi Syarqi Asia Alhindu wa Indonesia. Bagdad. 1988.
3. Al-Imam Al-Allamah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Al-Mu’awanah wa Al-Muzhaharah wa Al-Muwazarah li Al-Raghibin min Al-Mu’minin fi Suluk Al-Thariq Al-Akhirah. Mesir. 1929.
4. Muhammad Al-Baqir. Ulama Sufi dan Pimpinan Umat : Ali Zainal Abidin, Cucu Rasulullah. Bandung. 1983.
5. A. Latif Tuanany. Tinjauan Selayang Pandang Tentang Jazirah Uli Hatuhaha. Kailolo. 1989.
6. Tete Hi. Ali Marasabessy. Tokoh Ulama Kailolo/Maluku. 1983.
7. Abubakar Ohorella. Pemuka Masyarakat Kailolo.1989.
8. Hi. Kojabale Marasabessy. Pemuka Masyarakat Kailolo. 1989.